Minggu, 23 Oktober 2011

Sejarah Batik Batang

SEJARAH PERKEMBANGAN BATIK BATANG

A. Sejarah Latar Belakang Munculnya Batik Batang


Seni kerajinan batik hingga kini tetap berkembang di daerah-daerah tertentu di tanah air. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis identitas budaya nasional yang satu ini mampu bertahan hidup dan bahkan sanggup menjadi kode kultural yang patut di perhitungkan dalam komunitas nasional meupun internasional, meskipun terus menerus diterpa arus globalisasi yang membawa serta liberalisme ekonomi dan persaingan bebas (Sondari, Yusmawati, 1999:1).

Daya tahan yang dimiliki seni kerajinan batik juga harus ditopang oleh peningkatan sumber daya manusia untuk terus berpacu dan beradaptasi dengan zaman, daya tahan itu sendiri membuktikan bahwa seni kerajinan batik masih terus dibutuhkan

Batik Batang ada sejak masyarakat pada umumnya mengenal budaya batik. Seperti beberapa kota di Jawa Tengah yang mempunyai ikon batik antara lain: Pekalongan, Surakarta Lasem, Rembang, dan Banyumas serta kota-kota lainnya termasuk Batang dan Tegal. Batik merupakan bagian yang terpisahkan sdengan budaya masyarakat pada umumnya (Jawa) karena batik adalah jenis motif sandang yang bisa dinikmati oleh semua lapisan, baik oleh ibu, bapak, remaja, dan anak-anak sekalipun tanpa dibatasi umur.
Masing-masing batik yang dihasilkan oleh wilayah atau kota-kota tersebut di atas memilik corak tersendiri dan berbeda dengan yang lainnya. Begitu halnya batik Batang yang sudah lama dikenal oleh masyarakat umum maupun masyarakat Batang khususnya. Kemudian timbul pertanyaan kapan batik Batang mulai ada? Pertanyaan ini tidak dijawab dengan pasti ataupun dengan angka tahun yang tepat. Namun demikian ditinjau dari segi motif dan histories, batik batang sudah ada sejak jaman Kerajaan Hindu-Budha di Jawa.
Salah satu petunjuk yang sangat menarik untuk ditindak lanjuti dalam penelitian daam waktu mendatang adalah munculnya nama batik Gringsing dan nama Kecamatan Gringsing di Kabupaten Batang, serta ditemukannya arca Sri Vasudara di dukuh Balai Kambang, desa Lebo Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang. Arca Sri vasudara tersebuit (sekarang disimp[an di Museum Ronggowarsito Semarang) dalam temuan disebutka dengan a Sinjang Gringsing (memakai kain batik atau jarik gringsing: sinjang dalam bahasa jawa kromo artinya kain batik).

      Disisi lain dari sudut sejarah Batang, ditemukan juga batik kuno di dukuh Cepit, desa Deles Kecamatan Bawang Kabupaten Batang. Disebut dengan batik kuno karena pada tahun 1978 di daerah tersebut diadakan penggalian Candi Cepit oleh team dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas)Jakarta. Pada saat tersebut masyarakat sekitar melaporkan tentang kepemilikan bvatik tulis tradisional yang bermotif lung-lung bungam dan gambar tersebut identik dengan relief beberapa batu candi yang sedang dievakuasi.
Batang disebut sebagai produsen batik cukup beralasan, meskipun tidak setenar kota-kota lain yang sudah legendaris. Dikenalnya motif batik Kluwung dari Batang dapat menjadi bukti bahwa Batang juga sebagai daerah penghasil batik. Batik Kluwung adaah sebuah motif sederhana yang mengandung aspek ritual.

         Upacara ritual yang berkaitan dengan batik Kluwung adalah supaya pemakai selalu dalam perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam hal keselamatan dan bebas dari malapetaka. Batik jenis yang satu ini tentu saja tidak sembarangan orang boleh memakainya, karena batik Kluwung hanya boleh dipaai oleh seorang anak yang kakak dan adiknya meninggal dunia. Seandainya sebuah keluarga mempuinyai  tiga orang anak dan yang sulung maupun bungsunya meninggal dunia tentu anak tersebut menjadi anak semata wayang yang masih hidup. Agar masa depan anak ini terjaga maka anak tersebut memakai motif Batik Kluwung dalam bentuk sinjang maupun sarung.

Dalam beberapa alasan diatas, maka Batang turut ambil bagian sebagai salah satu kota produsen batik, angka tahun yang tepat kapan mulai muncul batik Batang tidak dapat diketahui secara pasti, namun Batang tetap menjadi sebuah daerah atau kota penghasil batik yang tidak kalah pamornya dengan kota-kota lain di Jawa Tengah. Kerajinan batik Batang merupakan salah satu apresiasi budaya masyarakat Batang yang juga sedikit banyak dipengaruhi oleh batik tulis Pekalongan dan juga batik pesisiran.

B. Perkembangan Batik di Kabupaten Batang


        Stlaatblad nomor 632 tanggal 31 Desember 1935 menyebutkan Batang menjadi bagian dari Kabupaten Pekalongan, meskipun Batang sebelumnya adalah kabupaten tersendiri. Akibat dari penetapan ini maka penduduk Batang dan Pekalongan tidak merasa terpisah, sehingga banyak penduduk yang berasal dari Batang mencari kerja di Pekalongan,begitu sebaliknya orang Pekalongan yang beraktifitas di Batang. Orang-orang Batang yang bekerja di Pekalongan pada umumnya adalah buruh batik yang didominasi oleh kelompok wanita dan disebut buruh cantik. Para buruh tersebut sudah memiliki kemampuan dalam hal membatik terutama untuk batik tulis sehingga kehadiran buruh-buruh tersebut mendongkrak daerah Pekalongan memperoleh sebutan sebagai kota batik.

Undang-undang nomor 9 tahun 1965 memberi angin segar bagi penduduk Batang bahwa terhitung tanggal 8 april 1966 Batang dinyatakan sebagai Kabupaten sendiri dan terpisah dengan Pekalongan. Sejak saat itu rakyat Batang mulai menggliat menyadari jatidirinya menjadi mandiri karena di pisah dengan Pekalongan. Aktifitas buruh batikpun menjadi buruh cantik didaerah sendiri. Batik Batang mulai berkembang, begitu juga para pengusaha batik meyakinkan dirinya sebagai orang Batang, maka segala akses lebih menonjol Batang. Pengusaha batik tumbuh dimana-mana, juga dibarengi dengan sarana prasarana dibangu termasuk toko-toko yang berkait dengan usaha pembatikan. Untuk keperluan obat batik tidak tergantung lagi dengan kota lain.

Batang, Potensi pemasaran batik tradisional asal Kabupaten Batang, Jawa Tengah, di Indonesia masih menjanjikan sehingga memberi peluang pengusaha batik untuk meraih keuntungan. Potensi pasar masih menjanjikan karena adanya keberpihakan pemerintah pada penggalian, pelestarian budaya daerah, dan budaya nasional semakin menguat, salah satu indikasinya adanya kebijakan pemakaian seragam batik di lingkungan pendidikan dan instansi pemerintah. Kualitas batik produksi Kabupaten Batang tidak kalah dibandingkan dengan batik Solo, Pekalongan, Yogyakarta, dan Lasem. Sehingga mampu bersaing di pasar lokal, nasional, dan mancanegara.

        Industri batik di Batang, katanya, hingga kini mencapai 56 unit usaha yang terdiri atas 41 unit usaha batik tulis dan 15 unit usaha batik cap. Industri batik di Batang mampu menyerap 140 tenaga kerja (naker). Proses pembuatan batik di Kabupaten Batang sebagian besar masih dilakukan dengan cara tradisional sehingga memiliki nilai khas, artistik, dan segmen tersendiri di pasar nasional maupun mancanegara. Industri batik Kabupaten Batang saat ini sudah terkenal di tingkat nasional dan mancanegara sehingga menjadi produk unggulan di Kabupaten Batang. Karena itu, pengusaha diminta selalu meningkatkan kualitas, mode, dan tren.
Para pengusaha batik di Kabupaten Batang yang mayoritas masih dikerjakan secara tradisional meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batang mengucurkan bantuan agar usaha mereka bisa lebih berkembang. Kepedulian Pemerintah Kabupaten Batang terhadap industri batik Batang memang sudah ada. Namun baru sebatas mengunjungi sentra industri batik belaka. Memang mereka sering berkunjung ke industri batik, namun baru sebatas kunjungan saja. Bantuan riil berupa kucuran modal yang ditunggu-tunggu para perajin batik hingga kini belum pernah terwujud. Selain bantuan modal, mereka berharap Pemerintah Kabupaten Batang memberikan pelatihan peningkatan sumber daya manusia (SDM), pemasaran, dan promosi karena tanpa ada bantuan dari Pemkab Batang, pemasaran batik di Kabupaten Batang tak bisa meningkat pesat (http://promojateng-bikk.com).

Pengusaha batik atau biasa disebut juragan Batik mulai eksis dengan mengikat diri dalam organisasi, lahirnya Koperasi Pengusaha Batik setono (KPBS). Perkembangan selanjutnya pemerintah memberikan perlindungan kepada pengusaha kecil dengan beberapa jenis proteksi, dan yang paling menonjol adalah pemberian kemudahan mendapatkan bahan baku atau bahan dasar pembuatan batik berupa kain primis dan primissima. Era akhir tahun 60-an dan menuju awal tahun 70-an pangsa pasar batik cukup menjanjikan bagi pengrajin batik Batang mulai di kenal.

Pada saat batik pesisiran berkembang seperti batik Lasem dan Rembang saat Pekalongan, tidak ketinggalan pula batik Batang. Ada beberapa hal yang menyebabkan batik Batang  berkembang, salah satu diantaranya adalah kwalitas. Batik Batang secara umum sama dengan batik-batik yang lain, namun dari segi proses Batang melewati fase tersendiri, sehingga menjadi tampil beda. Sebelum proses menuliskan lilin diatas kain primis atau primissima maka kain tersebut direndam dulu dalam larutan minyak kacang dengan harapan agar lapisan kimia yang menempel dapat hilang, dan cairan kimia dapat meresap dengan sempurna.

Perkembangan batik Kabupaten Batang tidak lepas dari ketrampilan penduduk atau buruh batik serta kebijakan pemerintah dalam menyikapi industri rumahan atau pengrajin yang ada. Berawal dari industri rumahan maka industri batik yang tidak memerlukan padat kerja memberikan peluang kepada ibu-ibu sebagai kerja sampingan. Disebut sebagai industri rumahan karena para saudagar batik tidak membutuhkan tempat yang luas karena proses kerja dapat dapat dilaksanakan dirumah sendiri. Perkampungan yang berdekatan dengan pusat kota dan didukung oleh lingkungan yang memadai seperti tersedianya aliran sungai maka memungkinkan tumbuh dan berkembangnya para saudagar.

Penduduk kota yang tersebar di desa Kauman, Proyonanggan, kasepuhan dan Karangasem yang telah menempatkan diri di tengah-tengah kehidupan ekonomi marginal berusaha merekrut para ibu-ibu muda dan setengah baya untuk dipekerjakan sebagai pembatik. Tidak ketinggalan pula para laki-laki yang kebetulan sudah berstatus sebagai bapak dipekerjakan dibagian finising atau yang biasa disebut sebagai kuli keceh ( bagian proses batik yang berkaitan dengan pewarnaan menyeluruh ). Terjadilah hubunga antara saudagar dan buruh yang bersifat kemitraan, sebab tidak jarang para saudagar atau pengrajin lebih cocok mempekerjakan anggota keluarga sendiri dalam memperlancar arus dan proses produksi.

Perkembangan batik Batang selanjutnya masih menganut tata ekonomi tradisional, hal ini terbukti ketika etika pasar dibentuk maka yang terjalin adalah mata rantai keluarga yang terdiri dari produsen, pedagang, pengumpul dan konsumen secara umum masih ada ikatan persaudaraan. Mereka membentuk kebersamaan yang saling bergantung dengan mengikuti prinsip-prinsip etika dan agama. Hubungan antara produsen dan konsumen atau penjual dan pembeli berjalan tidak lebih sebagai hubungan antarapenjaja dan raja. Mereka saling membantu dan mendapatkan keuntungan dalam arti yang lebih menekankan pemanfaatan daripada yang bersifat pengumpulan kekayaan indifidu.

Perkembangan batik Batang selanjutnya juga diramaikan oleh pengrajin awal yang mulai tumbuh sebagai produsen dan juga bertindak sebagai penjaja ( pemasar). Mata rantai pemasaran biasanya berujung ditangan konsumen pengumpul atau kelompok pemasar perantara. Sebagaimana halnya seperti putaran jarum jam, pengaturan waktu bukan dijadikan sebagai pedoman untuk menciptakan nilai ekonomi melainkan lebih berdasar pada produktifitas yang meletakkan pelaku hemat dan rajin. Prinsip cukup beralasan karena upah yang diterima buruh batik tidak sebanding dengan waktu yang dikorbankan, tetapi tidak terjadi tawar-menawar.

Sejak timbulnya kelompok pemasaran penuh di Batang, maka batik berfungsi sebagai barang komoditi yang bersifat ekonomis. Kelompok pemasaran kemudian dibentuk berdasarkan prinsip etika tradisional yang diselimuti dengan semangat keagamaan yang mendalam, maka perkembangan selanjutnya saudagar batik banyak didominasi oleh kelompok muslim. Di Batang sendiri sebetulnya juga banyak saudagar batik dari etnis Cina namun karena butuh profesi didominasi lapisan bawah maka sistem perburuhan yang diterapkan tidak pernah menghambat perkembangan batik pada khususnya di Kabupaten Batang. Sentra pembatikan kemudian menyebar ke beberapa wilayah kecamatan yang berdekatan dengan kecamatan kota misalnya kecamatan Warungasem, Bandar dan Gringsing.

C. Pengaruh Motif Batik Dari Daerah Lain Terhadap Motif Batik Batang

             Kain batik pada masa lampau digunakan dalam cara yang sederhana, hanya sebagai penutup tubuh. Bersamaan dengan proses pembudayaan dan tingkat kebutuhan, fungsi memakai kain batik berkembang menjadi pelengkap keindahan maupun simbol jati diri seseorang. Makin mahal harga kain batik yang dipakai makin yakin menunjukkan tingkat sosial pemakainya, begitu juga corak dan motif dapat mengarahkan pada tingkat kebangsawanan feodal.

              Dari obyek sebenarnya bunga, maka setelah di stilasi,distorsi dan dekoratif jadilah pola batik. Rangkaian ribuan titik saat mata canting meneteskan titik demi titik malam cair akan menentukan masa usia batik tersebut bertahan. Rangkaian itu sekaligus menyinpan seribu satu ceritera, suka duka, sedih gembiradan tangis tawa. Pendek kata, setiap tetesan maupun guratan mata canting merekam setiap helai nafas si pembatik, dan titik malam panas menghasilkan motif yang saat ke saat mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan jaman.

            Seorang pembatik usia lanjut ( sepuh ) mengatakan bahwa membatik dengan motif tertentu tidak bisa dianggap sebagi pekerja rutin, karena membatik juga melibatkan bati atau kata hati. Jika ingin menghasikan batik tulis yang halus, hati si pembatik tidak boleh gundah, curiga, dan menyimpan prasangka atau menyimpan niatyang tidak terpuji. Munculnya nama batik curigo, diawali dengan rasa kecurigaan hati pembatik dengan dunia luar kata hatinya. Kesabaran adalah kekayaan yang sebenarnya para pembatik. Begitulah kebijaksanaan si pembatik, setiap helai nafas dan batinya terekam kuat dalam keindahan karya budaya yang akhirnya bermuara pada motif.

          Motif batik Batang tidak jauh berbeda dengan batik pada umumnya dari kota-kota yang berbeda. Selanjutnya motif-motif tersebut diperkaya oleh kepentingan yang berkaitan dengan kedaerahan maupun kepentingan histories, filisofis serta reliji yang membutuhkan dan dibalut estetis maka pemakai untuk mencapai tujuan luhaur. Berawal dari batik Gringsing yang merupakan cikal bakal dari Batang kemudian berkembang sejalan dengan dan terispirasi dari kota-kota lain yang mempunyai sentra batik.

           Batik Batang mengenal ragam hias segiga yang bahasa jawa disebut “tumpal“. Sesungguhnya ragam tersebut bermakna sebagai lambang kekuasaan, tumpal segitiga menggambarkan bahwa makin keatas makin kecil dan mengerucut itu berarti bahwa yang paling puncak adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Kritik sumber menyebutkan bahwa ragam hias atau motif segitiga berasal dari India yang merupakan stirisasi gigi buaya sebagai lambang penolak balak malapetaka. Motif seterusnya yang mempengaruhi Batang ialah motif Cemplokan , padmasabha dan kawung.

           Stilirisari pola pada batik pesisiran yang mendapatkan pengaruh dari lingkungan alam seperti terjadi di Rembang untuk batik “ kapal kandas “ dan di Lasem untuk batik “ tritis “ merambah juga ke Batang yang sama-sama masuk kategori pesisiran. Sehingga batik Batang yang di produksi oleh para saudagar dan bermukim di dekat pesisir seperti desa Karangasem menghasilkan motif batik sangat kental dengan gaya pesisiran, bahkan diperkaya dengan ragam hias lainya seperti perahu pecaling, ombak-ombak laut dan juga gunung-gunung yang dilengkapi dengan hiasan salur rambat.
Berkaitan dengan pesisiran yang identik sebagai pelabuhan niaga pedagang, maka batik batang juga tidat lepas dari motif ragam hias batik-batik Cina ialah stilirisasi bentuk-bentuk keramik dan visualisasi lain yang merupakan ikon-ikon budaya Cina.

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motif batik Batang


          Bagi para pengusaha dan pengrajin di negara yang sedang membangun seperti Indonesia, proses pembuatan batik dengan pola-pola tradisi yang bersifat istana sentries sudah tidak perlu dipertahankan lagi sebab proses kegiatan membatik telah berkembang sedemikian majunya. Kemajuan ilmu dan teknologi tidak lepas dari factor-faktor yang berpengaruh terhadap suatu perkembangan. Motif seni batik seperti keberadaan seni batik di Kabupaten Batang dalam perkembangannya tidak lepas dari factor yang dapat menunjang dan menghambatnya.

Dari data yang diperoleh oleh penulis dilokasi penelitian, maka di dapat informasi adanya beberapa factor penunjang dan penghambat perkembangan motif batik didaerah Batang, yaitu;
a. faktor penunjang adalah faktor yang menunjang perkembangan motif batik Batang yang dapat  dibagi menjadi dua yaitu:

(1). Faktor penunjang dari dalam, meliputi beberapa hal antara lain, motif batik khas Batang yang telah memiliki konsumen ataupun pasar tersendiri, disamping itu letak daerah Batang yang strategis sehingga memudahkan akses baik dari dalam maupun dari luar daerah Batang. Selanjutnya adalah keinginan dari masyarakat untuk mempertahankan motif batik khas Batang yang menjadi identitas daerah dan yang tidak kalah penting adalah peran serta pemerintah daerah dalam mendukung pelestarian seni batik Batang, hal ini bisa dilihat dari banyaknya jimlah pasar seni batik dan dijadikannya pasar seni batik dan kegiatan membatik sebagai salah satu bagian dari paket wisata daerah Batang.

(2). Faktor penunjang dari luar berupa banyaknya motif daerah lain yang kemudian dijadikan referensi oleh para pengrajin dan desainer batik, kecenderungan para kolektor batik yang sering memesan batik dengan desain yang telah mereka buat sendiri. Adanya persaingan persaingan pasar yang semakin pesat menuntut pengrajin untuk lebih kreatif dalam hal mendesain motif batik dan terakhir adalah kemajuan teknologi yang lebih memudahkan para pengrajin dalam proses mendesain motif batik.

Faktor penghambat faktor yang mengahambat perkembangan motif batik Batang yang dapat dibagi menjadi dua yaitu;

(1). Faktor penghambat dari dalam antara lain kurangnya tenaga terampil terutama tenaga muda untuk meneryuskan profesi sebagai desainer dan pengrajin batik, banyaknya tenaga ahli yang beralih profesi karena factor ekonomi dan tenaga tua yang sudah tidak produktif lagi untuk berkarya, kecenderungan para pengrajin batik memproduksi batik dengan kualitas yang kurang bagus hanya karena mengjar target penjualan dan untuk meminimalkan biaya produksi.

(2). Faktor penghambat dari luar adalah banyaknya penjual batik dari daerah lain yang memesan batik dengan motif dari daerah asal mereka, kurang dikenalnya motif batik asli daerah Batang oleh masyarakat luas dan persaingan pasar yang semakin pesat dan bebas sehingga memudahkan batik dari daerah lain memasuki pasar seni batik dari daerah Batang.    

1 komentar:

  1. Menarik sekali tulisannya. Apa saya bisa tahu sumbernya? Terima kasih sebelumnya

    BalasHapus